MAKALAH
NEGARA
DAN KONSTITUSI
Untuk
Memenuhi Tugas Diskusi Mata Kuliah
Pendidikan
Kewarga Negaraan
Dosen
Pembina: Drs. MBM. Munir
Di susun oleh kelompok 2:
§ Buistu
Rumaf
§ Sumiyatun
§ Aryadi
§ Husnul
Maarif
§ M.Zaki
Abd
§ Denik
Saromah
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen
atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi causa prima penyebab tragedi
nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis
sosial-politik, bobroknya managemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya
nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah
dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena
fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang
demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga
terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada
penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada
penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan
kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama
(1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga
siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang all size itu akan
berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan
UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah
mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada
hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak
sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan
bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan
konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara
yang otoritarian menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga
negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu
agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat
menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas
yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam
setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara
mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam
situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik
dan terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan
dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga
masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia
kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai
keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan.
Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.
Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.
Secara umum Negara dan konstitusi merupakan dua
lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan setelah abad
pertengahan yang ditandai dengan ide demokrasi dapat dikatakn: tanpa
konstitusi, Negara tidak mungkin terbentuk. Konstitusi merupakan hokum dasarnya
suatu Negara. Dasar-dasar penyelenggaraan bernegara didasarkan pada konstitusi
sbagai hokum dasar.
Negara yang berlandaskan pada suatu konstitusi
dinamakan Negara konstitusional (constitutional
state). Akan tetapi, untuk dapat dikatakan secara ideal sebagai Negara
konstitusional maka konstitusi Negara tersebut harus memenuhi sifat atau
ciri-ciri dari konstitusionalisme (constitutionalism).
Jadi, Negara tersebut harus pula menganut gagasan tentang
konstitusionalisme sendiri merupakan suatu ide, gagasan, atau paham.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apakah pengertian
Negara?
1.2.1.1 Sebutkan sifat-sifat Negara
1.2.1.2
Jelaskan Tentang pertahanan Negara
1.2.2 Apakah pengertian
konstitusi?
1.2.2.1
Jelaskan sejarah lahirnya
konstitusi di Indonesia
1.2.2.2 Jelaskan kedudukan
konstitusi
1.2.2.3 Jelaskan
dan sebutkan isi, tujuan, dan fungsi Konstitusi negara.
1.2.5. Bagaimanakah pentingnya Konstitusi dalam suatu
Negara
1.2.6 Jelaskan perubahan konstitusi di Indonesia dan
di beberapa Negara
1.2.7 Jelaskan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara
Indonesia.
1.2.7.1 Jelaskan Pancasila Amandemen UUD 1945
1.2.7.2 Pancasila Sebagai Materi Konstitusi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN NEGARA
Negara
merupakan suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia
yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (territorial) tertentu dengan
mengakui adanaya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan
sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya.Organisasi
negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya organisasi, ada
organisasi-organisasi lain (keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan
organisasi lainnya yang masing-masing memiliki kepribadian yang lepas dari
masalah kenegaraan). Secara umum negara dapat diartikan sebagai suatu organisasi
utama yang ada di dalam suatu wilayah karena memiliki pemerintahan yang
berwenang dan mampu untuk turut campur dalam banyak hal dalam
bidangorganisasi-organisasilainnya.
Terdapat beberapa elemen yang berperan dalam membentuk suatu negara. Elemen-elemen tersebut adalah
Terdapat beberapa elemen yang berperan dalam membentuk suatu negara. Elemen-elemen tersebut adalah
1.Masyarakat
Masyarakat merupakan unsur terpenring dalam tatanan suatu negara. Masyarakat atau rakyat merupakan suatu individu yang berkepentingan dalam suksesna suatu tatanan dalam pemerintahan. Pentingnya unsur rakyat dalam suatu negara tidak hanya diperlukan dalam ilmu kenegaraan (staatsleer) tetapi perlu juga perlu melahirkan apa yang disebut ilmu kemasyarakatan (sosiologi) suatu ilmu pengetahuan baru yang khusus menyelidiki, mempelajari hidup kemasyarakatan. Sosiologi merupakan ilmu penolong bagi ilmu hukum tatanegara.
2.Wilayah(teritorial)
Suatu negara tidak dapat berdiri
tanpa adanya suatu wilayah. Disamping pentingnya unsur wilayah dengan
batas-batas yang jelas, penting pula keadaan khusus wilayah yang bersangkutan,
artinya apakah layak suatu wilayah itu masuk suatu negara tertentu atau
sebaliknya dipecah menjadi wilayah berbagai negara. Apabila mengeluarkan
peraturan perundang-undangan pada prinsipnya hanya berlaku bagi orang-orang
yang berada di wilayahnya sendiri. Orang akan segera
sadar berada dalam suatu negara
tertentu apabila melampaui batas-batas wilayahnya setelah berhadapan dengan
aparat (imigrasi negara) untuk memenuhi berbagai kewajiban yang ditentukan.
Paul Renan (Perancis) menyatakan satu-satunya ukuran bagi suatu masyarakat untuk menjadi suatu negara ialah keinginan bersatu (le desir de’etre ansemble). Pada sisi lain Otto Bauer menyatakan, ukuran itu lebih diletakkan pada keadaan khusus dari wilayah suatu negara.
3.Pemerintahan
Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah pemerintahan memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu negara dan berada dalam wilayah negara.
Ada empat macam teori mengenai
suatu kedaulatan, yaitu teori kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum
dan kedaulatan rakyat:
1. Teori kedaulatanTuhan
(Gods souvereiniteit)
Teori kedaulatan Tuhan (Gods souvereiniteit) meyatakan atau menganggap kekuasaan pemerintah suatu negara diberikan oleh Tuhan. Misalnya kerajaan Belanda, Raja atau ratu secara resmi menamakan dirinya Raja atas kehendak Tuhan “bij de Gratie Gods”, atau Ethiopia (Raja Haile Selasi) dinamakan “Singa Penakluk dari suku Yuda yang terpilih Tuhan menjadi Raja di Ethiopia”.
Teori kedaulatan Tuhan (Gods souvereiniteit) meyatakan atau menganggap kekuasaan pemerintah suatu negara diberikan oleh Tuhan. Misalnya kerajaan Belanda, Raja atau ratu secara resmi menamakan dirinya Raja atas kehendak Tuhan “bij de Gratie Gods”, atau Ethiopia (Raja Haile Selasi) dinamakan “Singa Penakluk dari suku Yuda yang terpilih Tuhan menjadi Raja di Ethiopia”.
2. Teori
kedaulatan Negara (Staats souvereiniteit)
Teori kedaulatan Negara (Staats souvereiniteit)menganggap sebagai suatu axioma yang tidak dapat dibantah, artinya dalam suatu wilayah negara, negaralah yang berdaulat. Inilah inti pokok dari semua kekuasaan yang ada dalam wilayah suatu negara. Otto Mayer (dalam buku Deutsches Verwaltungsrecht) menyatakan “kemauan negara adalah memiliki kekuasaan kekerasan menurut kehendak alam”. Sementara itu Jellinek dalam buku Algemeine Staatslehre menyatakan kedaulatan negara sebagai pokok pangkal kekuasaan yang tidak diperoleh dari siapapun. Pemerintah adalah “alat negara”.
Teori kedaulatan Negara (Staats souvereiniteit)menganggap sebagai suatu axioma yang tidak dapat dibantah, artinya dalam suatu wilayah negara, negaralah yang berdaulat. Inilah inti pokok dari semua kekuasaan yang ada dalam wilayah suatu negara. Otto Mayer (dalam buku Deutsches Verwaltungsrecht) menyatakan “kemauan negara adalah memiliki kekuasaan kekerasan menurut kehendak alam”. Sementara itu Jellinek dalam buku Algemeine Staatslehre menyatakan kedaulatan negara sebagai pokok pangkal kekuasaan yang tidak diperoleh dari siapapun. Pemerintah adalah “alat negara”.
3. Teori kedaulatan
hukum (Rechts souvereiniteit)
Teori kedaulatan hukum (Rechts souvereiniteit) menyatakan semua kekuasaan dalam negara berdasar atas hukum. Pelopor teori ini adalah H. Krabbe dalam buku Die Moderne Staats Idee.
Teori kedaulatan hukum (Rechts souvereiniteit) menyatakan semua kekuasaan dalam negara berdasar atas hukum. Pelopor teori ini adalah H. Krabbe dalam buku Die Moderne Staats Idee.
4. Teori
Kedaulatan Rakyat (Volks aouvereiniteit),
Teori Kedaulatan Rakyat (Volks aouvereiniteit), semua kekuasaan dalam suatu negara didasarkan pada kekuasaan rakyat (bersama). J.J. Rousseau (Perancis) menyatakan apa yang dikenal dengan “kontrak sosial”, suatu perjanjian antara seluruh rakyat yang menyetujui Pemerintah mempunyai kekuasaan dalam suatu negara.
Di dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan, 3 unsur negara menjadi 4 bahkan 5 yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan, UUD (Konstitusi) dan pengakuan Internasional (secara de facto maupun de jure).
Teori Kedaulatan Rakyat (Volks aouvereiniteit), semua kekuasaan dalam suatu negara didasarkan pada kekuasaan rakyat (bersama). J.J. Rousseau (Perancis) menyatakan apa yang dikenal dengan “kontrak sosial”, suatu perjanjian antara seluruh rakyat yang menyetujui Pemerintah mempunyai kekuasaan dalam suatu negara.
Di dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan, 3 unsur negara menjadi 4 bahkan 5 yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan, UUD (Konstitusi) dan pengakuan Internasional (secara de facto maupun de jure).
2.1.1
Sifat-sifat Negara
Negara mempunyai sifat-sifat
khususnya yang merupakan bentuk nyata dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang
hanya terdapat pada Negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau
organisasi lainnya. Sifat-sifat Negara tersebut yaitu sifat memaksa, sifat monopoli dan sifat mencakup semua.
1.
Sifat memaksa
Artinya
Negara mempunyai kekuasaan untuk memakai kekuasaan fisik secara resmi agar
peraturan perundang-undangan ditaati sehingga tujuan suasana masyarakat yang
tertib dan damai dapai tercapai. Pemahaman Negara juga bertujuan untuk mencegah
timbulnya anarki sarana yang digunakan untuk memaksa adalah polisi dan tentara.
Pemakaian paksaan melalui tindak kekerasan bukanlah satu-satunya pilihan. Alat
Negara dapat juga melakukan sikap dan perbuatan yang persusif.
2.
Sifat Monopoli
Artinya,
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dan masyarakat.
Negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran keprcayaan atau aliran politik
tertentu dilarang hidup dan disebar luaskan karena bertentangan dengan tujuan
masyarakat.
3.
Sifat Mencakup Semua
Artinya,
semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali.
Hal ini bertujuan agar usaha Negara kearah tercapainya masyarakat yang
dicita-citakan dapat diwujudkan.
2.1.2
Pertahanan Negara
Pertahanan
negara sebagai salah satu wujud atau bentuk bela negara merupakan usaha untuk
mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mecapai tujuan nasional,yaitu
untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia,memajukan
kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi,dan keadilan
sosial.
Usaha
pertahanan negara di indonesia di selenggarakan berdasarkan UU No.3 Tahun 2002
Tentang Pertahanan Negara.Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pertahanan
negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kadaulatan negara,keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik indonesia,dan keslamatan segenap bangsa dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Pelaksanaan pertahanan negara di selenggarakan oleh
tiga komponen bangsa, yaitu:
1.
Komponen Utama adalah Tentara Nasional
Indonesia (TNI) yang siap di gunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.
2.
Komponen Cadangan adalah sumber daya
nasional yang telah di siapkan untuk di kerahkan melalui mobilisasi guna
memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama.
3.
Komponen Pendukung adalah sumber daya
nasional yang dapat di gunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan
komponen utama dan komponen cadangan.
Selanjutnya pelaksanaan pertahanan negara di
dasarkan pada (Pasal 3 UU No.3 Tahun 2002):
·
Prinsip demokrasi,hak asasi
manusia,kesejahteraan umum,lingkungan hidup,ketentuan hukum nasional,hukum
internasional, dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan
secara damai.
·
Pertahanan negara di susun dengan
mempertahankan kondisi geografis indonesia sebagai negara kepulauan.
Pertahanan
negara di selenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan,daya
tangkal negara dan bangsa,serta menanggulangi setiap ancaman.Tentara nasional
indonesia dalam hal penyelenggaraan pertahanan negara berbeda di garis depan.
Hal ini sesuai dengan
tugas dan fungsi Tentara Nasional Indonesia, yang meliputi:
1.
Mempertahankan kedaulatan negara dan
keutuhan wilayah
2.
Melindungi kehormatan dan keselamatan
bangsa
3.
Menjalankan operasi militer selain
perang
4.
Ikut serta secara aktif dalam tugas
pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Dalam
hal pertahanan keamanan warga negara berperan sebagai komponen cadangan
berbarengan dengan sumber daya alam,sumber daya buatan,serta sarana dan
prasarana nasional.Warga negara beserta komponen lain disiapkan untuk di
kerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen
utama.Pendayagunaan warga negara sebagai komponen cadangan pertahanan keamanan
dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan,keanekaragaman,
dan produktivitas warga negara.Meskipun,bela negara merupakan hak sekaligus
kewajiban tiap warga negara,Namun mobilisasi warga negara tidak boleh di
lakukan secara sembarangan.Pengelolaan warga negara sebagai komponen cadangan
pertahanan negara merupakan wewenang dan tanggung jawab presiden. Dalam rangka
mempermudah proses koordinasi dalam proses pengelolaan pertahanan
negara,Presiden di bantu oleh Dewan pertahanan nasional.
Dalam rangka
melaksanakan fungsinya,dewan pertahanan nasional mempunyai tugas:
1.
Menelaah,menilai dan menyusun kebijakan
terpadu pertahanan negara agar departemen pemerintah,lembaga pemerintah non
departemen,dan masyarakat beserta tentara nasional indonesia dapat melaksanakan
tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mendukung penyelenggaraan
pertahanan negara.
2.
Menelaah,menilai, dan menyusun kebijakan
terpadu pengerahan komponen pertahanan negara dalam rangka mobilisasi dan
dembilisasi.
3.
Menelaah dan menilai risiko dari
kebijakan yang akan di tetapkan.
Dewan
Pertahanan Nasional di pimpin oleh presiden dengan keanggotaan yang terdiri
atas:
1.
Anggota tetap,terdiri atas wakil
presiden,Menteri pertahanan,Menteri luar negeri,Menteri dalam negeri,dan
panglima TNI.
2.
Anggota tidak tetap,terdiri atas pejabat
pemerintahan dan non pemerintah yang di anggap perlu sesuai dengan masalah yang
di hadapi.Anggota tidak tetap dari unsur pemerintahan di usulkan dan di angkat
oleh presiden sedangkan dari unsur non pemerintah di usulkan oleh dewan
perwakilan rakyat dan di angkat oleh presiden.
2.2 PENGERTIAN
KONSTITUSI
Konstitusi
adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar
dsb.), atau Undang-Undang Dasar suatu Negara. Dengan kata lain, segala tindakan
atau perilaku seseorang maupun penguasa beruba kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi dari
konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Sementara
menurut Assiddiqie (2006), konstitusi adalah hokum dasar yang dijadikan
pegangan dalam penyelenggaraan suatu Negara. Konstitusi dapat berupa hokum
dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak
tertulis. Tidak semua Negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang
Dasar.
Konsitusi
juga dapat diartikan sebagai hokum dasar. Para pendiri Negara kita (th founding fathers) menggunakan
istilah hukum dasar. Dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan: “Undang-Undang Dasar
suatu Negara ialah hanya sebagian dari hokum dasar Negara itu. Undang-Undang
Dasar adalah hokum dasar yang tertulis, sedang disamping Undang-Undang Dasar
tersebut berlaku juga hokum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik dan penyelenggaraan Negara,
meskipun tidak tertulis”. Hokum dasar tidak tertulis disebut konvensi.
Adapun
pengertian konstitusi menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a.
Herman Heller, membagi pengertian konstitusi
menjadi tiga:
1)
Konstitusi dalam pengertian politik sosiologis.
Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu
kenyataan.
2)
Konstitusi merupakan satu kesatuan kaidah yang
hidup dalam masyarakat yang selanjutnya dijadikan suatu kesatuan kaidah hokum.
Konstitusi dalam hal ini sudah mngandung pengertian yuridis.
3)
Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sabagai
Undang-Undang yang tinggi yang berlaku dalam suatu Negara.
b.
K.C Wheare mengartikan konstitusi sebagai
“keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara, berupa kumpulan peraturan
yang membentuk yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan
suatu Negara”.
c.
Prof. Prayudi Atmosudirdjo merumuskan konstitusi
sebagai berikut.
1) Konstitusi
suatu Negara adalah hasil atau produk sejarah dan proses perjuangan bangsa yang
bersangkutan.
2) Konstitusi
suatu Negara adalah rumusan dari filsafat, cita-cita, kehendak, dan perjuangan
bangsa Indonesia.
3) Konstitusi
adalah cermin dari jiwa, jalan pikiran, mentalitas, dan kebudayaan suatu
bangsa.
d.
Brian Thompson, secara sederhana pernyataan: “what is aconstitution’ dapat dijawab
bahwa “…a constitution is a document
which contains the rule for the operation of an organization”[1].
Konstitusi dapat diartikan secara
luas dan sempit, sebagai berikut:
a.
Konstitusi (hokum dasar) dalam arti luas meliputi
hokum dasar tertulis dan tidak tertulis.
b.
Konstitusi (hokum dasar) dalam arti sempit adalah
hokum dasar tertulis, yaitu undang-undang dasar. Dalam pengertian ini
undang-undang dasar merupakan konstitusi atau hokum dasar yang tertulis.
2.2.1
Sejarah Lahirnya Konstitusi di Indonesia
Dalam
sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni
1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai dalam bahasa Jepang yang beranggotakan 21
orang, diketuai Ir.Soekarno dan Drs.Moh.Hatta sebagai wakil dengan 19 orang
anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa,3 orang dari Sumatra, dan
masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. BPUPKI
ditetapkan berdasarkan Maklumat Gunseikan Nomor 23 bersamaan dengan ultah Tenno
Heika pada tanggal 29 April 1945.
BPUPKI
menentukan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka
yang dikenal dengan nama UUD 1945. tokoh-tokoh perumusnya antara lain Dr.Rajman
Widiodiningrat, Ki Bagus Hadi Koesemo, Oto Iskandardinata, Pangeran purboyo,
Pangeran Soerjohamindjojo dan lain-lain.
UUD
1945 dibentuk untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di kemudian
hari. Setelah kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi
nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan sehingga
lengkaplah Indonesia menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18
Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali dan
menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut :
1.
Menetapkan dan
mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan Undang –
Undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.
2.
menetapkan dan
mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang
disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
3.
memilih ketua persiapan
Kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs.
Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.
4.
pekerjaan presiden
untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia(Komite Nasional).
Dengan
terpilihnya atas dasar UUD 1945 ,maka secara formal Indonesia sempurna menjadi
sebuah Negara, sebab syarat – syarat yang lazim diperlukan oleh setiap Negara
telah ada, yaitu adanya :
1. Rakyat
.
2. Wilayah.
3. Kedaulatan.
4. Pemerintahan
5. Tujuan
Negara.
6. Bentuk
Negara
2.2.2 KEDUDUKAN KONSTITUSI
Konstitusi
menepati kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan ketatanegaraan suatau Negara
karena konstitusi menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang
sarat dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu. Selain itu, konstitusi
juga merupakan ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding fathers, serta memberikan arahan kepada generasi
penerus bangsa dalam mengemudikan suatu Negara yang mereka pimpin.
Konstitusi secara umum berisi hal-hal yang mendasar dari
suatu Negara. Hal-hal mendesar itu adalah aturan-aturan atau norma-norma dasar
yang dipakai sebagai pedoman pokok bernegara.
Meskipun
konstitusi yang ada di dunia ini berbeda-beda baik dalam hal tujuan, bentuk dan
isinya, tetapi pada umumnya mereka mempunyai kedudukan formal yang sama, yaitu
sebagai (a) hukum dasar, dan (b) hukum tertinggi.
a.
Konstitusi
sebagai hukum dasar
Konstitusi
berkedudukan sebagai Hukum Dasar karena ia berisi aturan dan ketentuan tentang
hal-hal yang mendasar dalam kehidupan suatu Negara. Secara khusus konstitusi
memuat aturan tentang badan-badan pemerintahan (lembaga-lembaga Negara), dan
sekaligus memberikan kewenangan kepadanya. Misalnya saja, di dalam konstitusi
biasanya akan ditentukan adanya badan legislative, cakupan kekuasaan badan
legislative tersebut dan produser
penggunaan kekuasaannya, demikian pula dengan lembaga eksekutif dan
yudikatif.
Jadi
konstitusi menjadi :
(a) Dasar
adanya
(b) Sumber
kekuasaan bagi setiap lembaga Negara.
Oleh karena itu konstitusi juga
mengatur kekuasaan badan legislative (pembuat undang-undang), maka UUD juga
merupakan
(c) Dasar
adanya dan sumber bagi isi sturan hukum yang ada dibawahnya.
b.
Konstitusi sebagai Hukum tertinggi
Konstitusi
lazimnya juga diberi kedudukan sebagai hukum tertinggi dalam tata hukum Negara
yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa aturan-aturan yang terdapat dalam
konstitusi, secara hierarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi (superior) terhadap aturan-aturan
lainnya. Oleh karena itulah aturan-aturan lain yang dibuat oleh pembentuk
undang-undang harus sesuai atau tidak bertentangan dengan undang-undang dasa
2.2.3 ISI, TUJUAN, dan FUNGSI KONSTITUSI NEGARA
Konstitusi merupakan tonggak atau awal
terbentuknya suatu negara. Konstitusi menjadi dasar utama bagi penyelenggaraan
bernegara. Karena itu konstitusi menempati posisi penting, dan strategis dalam
kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Prof. Hamid S. Attamimi mengatakan bahwa
konstitusi atau Undang-Undang Dasar merupakan pemberi pegangan dan pemberi
batas, sekaligus merupakan petunjuk bagaimana suatu negara harus dijalankan.
Hal-hal yang diatur dalam konstitusi negara
pada umumnya berisi tentang pembagian kekuasaan negara, hubungan antarlembaga
negara, dan hubungan negara dengan warga negara. Aturan-aturan itu masih
bersifat umum dan secara garis besar. Aturan-aturan itu selanjutnya dijabarkan
lebih lanjut pada aturan perundangan di bawahnya.
Menurut Mirriam Budiardjo dalam bukunya
Dasar-Dasar Ilmu Politik, konstitusi atau Undang-Undang dasar memuat
ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1.
Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Dalam negara federal, yaitu masalah pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal engan pemerintah negara bagian, prosedur
penyelasaian masalah pelanggaran yurisdiksi lembaga negara.
2.
Hak-hak asasi manusia.
3.
Prosedur mengubah undang-undang dasar.
4.
Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat-sifat tententu dari
undang-undang dasar. Hal ini untuk menghindari terulangnya hal-hal yang telah
diatasi dan tidak dikehendaki lagi. Misalnya, Undang-Undang Dasar Jerman
melarang untuk mengubah sifat federalisme sebab bila menjadi unitarisme
dikhawatirkan dapat mengembalikan munculnya seorang Hitler.
Apabila kita membaca pasal demi pasal dalam
UNDANG-UNDANG DASAR 1945 maka kita dapat mengetahui beberapa hal yang menjadi
isi daripada konstitusi Republik Indonesia ini. Hal-hal ini yang diatur dalam
UNDANG-UNDANG DASAR 1945 antara lain:
1.
Hal-hal yang sifatnya umum, misalnya tentang kekuasaan dalamnegara dan
idenitas-identitas negara.
2.
Hal yang menyangkut lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga nrgara,
ungsi, tugas, hak, dan kewenangannya.
3.
Hal yang mnyangkut hubungan antar negara dengan warga negara, yaitu hak
dan kewajiban negara terhadap warganya ataupun hak dan kewajiban warga negara terhadap
negara, termasuk juga hak asasi manusia.
4.
Konsepsi atau cita negara dalam bernbagai bidang, misalnya bidang
pendidikan, kesejahteraan, ekonomi, sosial, dan pertahanan.
5.
Hal mengenai perubahan undang-undang dasar.
6.
Ketentuan-ketentuan peralihan atau ketentuan transisi.
Gagasan konstitutionalisme menyatakan bahwa
konstitusi di suatu negara memiliki sifat membatasi kekuasaan pemerintah dan
menjamin hak-hak dasar warga negara. Sejalan dengan sifat membatasi kekuasaan
pemerintahan maka konstitusi secara ringkas memiliki 3 tujuan, yaitu:
a)
Memberi pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik;
b)
Melepaskan kontrol kekuasaan dari penguasa itu sendiri;
c)
Memberi batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya (ICCE UIN, 2000).
Selain itu, konstitusi negara bertujuan
menjamin pemenuhan hak-hak dasar warga negara, konstitusi negara memiliki
fungsi-fungsi sebagai berikut (Jimly Asshiddiqie, 2002).
a.
Fungsi penentu atau pembats kekuasaan negara.
b.
Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara.
c.
Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antara organ negara dengan warga
negara.
d.
Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun
kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
e.
Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli
(dalam demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.
f.
Fungs simbolik yaitu sebagai sarana pemersatu (symbol of unity), sebagai
rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation) serta
sebagai center of ceremony.
g.
Fungsi sebagai sarana pengembalian masyarakat (social control0, baik
dalam arti sempit yaitu bidang politik dan dalam arti luas mencakup bidang
social ekonomi.
h.
Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan mesyarakat (social
engineering atu social reform) .
2.3
PENTINGNYA KONSTITUSI DALAM SUATU NEGARA
Eksistensi
konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan merupakan suatu hal yang sangat
krusial, karena tanpa konstitusi bisa jadi tidak akan terbentuk suatu Negara.
Dalam lintasan sejarah hingga awal abad ke-21 ini, hamper tidak ada Negara yang
tidak memiliki konstitusi. Hal ini menunjukkan betapa urgennya konstitusi
sebagai suatu perangkat Negara. Konstitusi dan Negara ibarat dua sisi mata uang
yang satu sama lain tidak terpisahkan.
Sejalan
dengan perlunya konstitusi sebagai instrument untuk membatasi kekuasaan dalam
suatu Negara, Miriam Budi ardjo mengatakan “Di dalam Negara-negara yang
mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional. Undang-Undang Dasar
mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa
sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan
demikian diharapkan hak-hak warga Negara akan lebih terlindungi.
Dalam
konteks pentingnya konstitusi sebagai pemberi batas kekuasaan tersebut,Kusnardi
membagi fungsi konstitusi menjadi 2 yaitu:
1. Membagi
kekuasaan dalam Negara.
2. Membatasi
kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam Negara.
3. Deskripsi
yang menyangkut masalah hak asasi manusia.
Mengingat
pentingnya konsitusi dalm suatu Negara ini, Struycken dalam bukunya
“Staatsrecht Van Het Koninkrijk der Nederlander” menyatakan bahwa Undang-undang
Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisikan:
1. Hasil
perjuangan poliik bangsa di waktu yang lampau.
2. Tingkat-tingkat
tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3. Pandangan
tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik untuk waktu sekarang maupun
untukyang akan datang.
4. Suatu
keinginan, dimana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Keempat
materi yang terdapat dalam konstitusi undang-undang tersebut, menunjukkan arti
pentingnya suatu konstitusi yang menjadi barometer kehidupan bernegara dan
berbangsa, serta memberikan arahan dan pedoman bagi generasi penerus bangsa
dalam menjalankan suatu Negara.
Dari
beberapa pakar tersebut, maka dapat dikatakan bahwa eksistensi konstitusi dalam
suatu Negara merupakan suatu keniscahyaan, karena adanya konstitusi akan
tercipta pembatasan kekuasaan melalui pembagian wewenang dan kekuasaan dalam
menjalankan Negara. Selain itu juga sangat penting untuk menjamin hak-hak asasi
warga Negara sehingga tidak terjadi penindasan dan perlakuan sewenang-wenang
dari pemerintah.
2.4
PERUBAHAN KONSTITUSI DI INDONESIA DAN DI
BEBERAPA NEGARA
1. Indonesia
Dalam
UUD 1945 menyediakan satu pasal yang berkenaan dengan caraperubahan UUD, yaitu
pasal 37 yang menyebutkan:
1. Untuk
mengubah UUD sekurang-kuranngnya 2/3 daripada anggota MPR harus hadir;
2. Putusan
diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah angggota yang hadir.
Pasal
37 terrsebut mengandung tiga norma, yaitu:
1. Bahwa
wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai lembaga tertinggi negara;
2. Bahwa
untuk mengubah UUD, kuorum yang dipenuhi sekurang-kurangnya adalh 2/3 dari
sejumlah anggota MPR;
3. Bahwa
putusan tentang perubahan UUD adalah sah apabila disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir.
Jika
dihadapkan pada klasifikasi yang disampaikan KC. Wheare, merupakan bentuk
konstitusi bersifat “tegar”, karena selain tata cara perubahannya tergolong
sulit, juga karena dibutuhkannya prosedur khusus. Menurut KC. Wheare, tingkat
kesulitan perubahan-perubahan konstitusi memilki motif-motif tersendiri yaitu:
1. Agar
perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak secara
serampangan dan dengan sadar (dikehendaki);
2. Agar
rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan
dilakukan;
3. Agar
hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas agama atau
kebudayaanya mendapat jaminan.
Dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia, Konstitusi atau Undang-undang Dasar 1945 yang
diberlakukan di Indonesia, telah mengalami perubahan-perubahan dan masa
berlakunya di Indonesia, yakni dengan rincian sebagai berikut:
1. Undang-undang
dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949);
2. Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950);
3. Undang-undang
Dasar Semntara Rrepublik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950-5Juli 1959);
4. Undang-undang
Dasar 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999);
5. Undang-undang
Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999-18 Agustus 2000);
6. Undang-undang
Dasar 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000-9 Nopember 2001);
7. Undang-undang
Dasar 1945 dan peereubahan I, II, dan III (9 Nopember 2001-10 Agustus 2002);
8. Undang_undang
Dasar 1945 dan perubahan I,II, III dan IV (10 Agustus 2002).
2. Amerika Serikat
Pada
tahun 1777, negara ini menyusun suatu landasan kerjasama bagi ketiga belas
bekas daerah jajahannya dalam bentuk Articles of Confederation. Menurut
aturan ini sistem pemerintahan dilakukan oleh suatu badan yang disebut congres
yang diberi kekuasaan untuk bertindak atas nama konfederasi. Namun
demikian bukan berarti keputusan sepenuhnya atas nama kongres, akan tetapi
keputusan itu baru bisa dilaksanakan jika disetjui oleh sekurang-kurangnya 9
negara dari 13 negara yang tergabung.
Pengalaman
pemerintahan atas dasar Articles of Confederation memaksa para
pemimpin negara-negara yang tergabung untuk berpikir lebih jauh ke depan. Untuk
itu mereka merasa perlu melakukan perubahan secara fundamental agar
berfungsinya suatu pemerintah yang sentralistik tanpa ada gangguan dan
intervensi dari negara-negara berkembang. Untuk mak sud itu kongres membentuk
suatu badan yang diberi nama constitutional convention yang bertugas
menyiapkan konstitusi bagi negara-negara yang hendak melakukan kerjasama lebih
erat. Badan ini beranggotakan 55 orang yang diwakili
13
negara yang tergabung.
Sementara
itu, dalam melakukan perubahan konstitusi, Amerika telah banyak melakukan
perubahan (amandemen) dengan memunculakan beberapa syarat yaitu:
1. 2/3
dari perwakilan rakyat negara-negara dapat mengajukan usul agar dijadikan
perbahan terhadap Amerika Serikat;
2. Untuk
keperluan perubahan konstitusi tersebut dewan perwakilan rakyat federal harus
memanggil siding konvensi;
3. Konvensi
inilah yang melaksanakan wewenang merubah konstitusi.
3. Belanda
Perubahan
konstitusi kerajaan Belanda terjadi beberapa kali yaitu pada tahun 1814, 1848,
dan 1972. Masalah perubahan konstitusikerajaan ini diatur dalam Bab (Hoofdstak)
XIII dan terdira dari 6 pasal yaitu pasal 193 (210 lama) sampai pada pasal 198
(215 lama). Cara yang dilakukan dalam rangka perubahan itu adalah dengan
memperbesar jumlah anggota staten general parlemen sebanyak dua kali
lipat. Keputusan tentang perubahan atau penambahan tersebut adalah sah apabila
disetujui sejumlah suara yang sama dengan dua pertiga dari yang hadir, akan
tetapi dalam Grondwet (undan-undang dasar) Belanda tahun 1815 prosedur
di atas diperberat, yaitu memenuhi kuorum yakni sekurang-kurangnya setengah
dari anggota sidang staten general ditambah satu (UU 1814 pasal 144).
Dengan demikian perubahan undang-undang dasar adalah sah apabila dihadiri oleh
sekurang-kurangnya setengah oleh jumlah anggota staten general yang
telah dijadikan dua kali lipat ditambah satu.
2.5 UUD 1945
SEBAGAI KONSTITUSI NEGARA INDONESIA
Konstitusi Negara Indonesia ialah Undang-Undang Dasar
1945 yang untuk pertama kali disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 agustus 1945. Dalam tata susunan peraturan
perundangan Negara, UUD 1945 menempati tingkat tertinggi. Menurut jenjang norma
hukum, UUD 1945 adalah kelompok staatsgrundgesetz
atau aturan dasar/pokok Negara yang berada dibawah Pancasila sebagai Grundnorm
atau Norma Dasar.
1.
Konstitusi yang Pernah Berlaku di Indonesia
Dalam sejarahnya, sejak Proklamasi 17 agustus 1945
hingga sekarang di Indonesia telah berlaku tiga macam undang-undang dasar dalam
empat periode, yaitu sebagai berikut.
a.
Periode
18 agustus 1945-27 Desember 1949 berlaku UUD 1945. UUD 1945 terdiri dari bagian
pembukaan, batang tubuh (16 bab), 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan, 2 ayat
Aturan Tambahan, dan bagian penjelasan.
b.
Periode
27 Desember 1949-17 Agustus 1950 berlaku UUD RIS. UUD RIS terdiri atas 6 bab,
197 pasal, dan beberapa bagian.
c.
Periode
17 Agustus 1950-5 Juli 1959 berlaku UUDS 1950 yang terdiri atas 6 bab, 146
pasal, dan beberapa bagian.
d.
Periode
5 Juli 1959-sekarang kembali berlaku UUD 1945.
Khusus untuk periode keempat berlaku UUD 1945 dengan
pembagian berikut:
a)
UUD
1945 yang belum diamandemen.
b)
UUD
1945 yang sudah diamandemen (tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001, dan tahun
2002).
Amandemen tersebut adalah:
1)
Amandemen
ke-1 pada siding umum MPR, disahkan 19 Oktober 1999;
2)
Amandemen
ke-2 pada siding tahunan MPR, disahkan 18 Agustus 2000;
3)
Amandemen
ke-3 pada siding tahunan MPR, disahkan 10 November 2001.
4)
Amandemen
ke-4 pada sidang tahunan MPR, disahkan 10 Agustus 2002
Undang-Undang Dasar Negara republic Indonesia pertama
kali ditetapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia) pada
tanggal 18 Agustus 1945. Undang-undang dasar yang ditetapkan oleh PPKI tersebut
sebenarnya merupakan hasil karya BPUPKI (Badan penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) melalui sidang-sidangnya dari tanggal 29 Mei 1945 sampai
1 Juni 1945 dan tanggal 10 Juli sampai 16 Juli 1945. Hasil karya PBUPKI itulah
yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
setelah mengalami perubahan seperlunya oleh PPKI.
Sidang PPKI pertama berlangsung tanggal 18 agustus
1945 yang menghasilkan 3 keputusan penting, yaitu sebagai berikut:
a.
Mengesahkan
Rancangan Pembukaan Hukum Dasar Negara dan Hukum Dasar sebagai UUD Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
b.
Memilih
Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
c.
Membentuk
sebuah Komitmen Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk membantu presiden.
Sidang PPKI mengenai pengesahan undang-undang dasar
ini berlangsung sangat singkat yaitu kurang lebih dua jam. Namun dengan
semangat persatuan dan keinginan untuk segera membentuk konstitusi Negara maka
penetapan Undang-Undang Dasar 1945 berjalan dengan lancer. Perubahan yang
dilakukan hanyalah hal-hal yang kecil saja, bukan masalah yang mendasar. Hal
ini karena PPKI sudah mendapatkan naskah rancangan hukum dasar yang dihasilkan
oleh BPUPKI.
Penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia
oleh PPKI dilakukan dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut:
a.
Pengesahan
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terdiri dari 4 alinea.
b.
Pengesahan
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terdiri atas 16 bab, 37
pasal, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 18
Agustus 1945 hanya berlaku dalam waktu singkat yaitu mulai tanggal 18 Agustus
1945 sampai 27 Desember 1949. Sejak 27 Desember 1949 diberlakukan Undang-Undang
Dasar baru yang disebut Konstitusi Republik Indonesi Serikat (KRSI) tahun 1949.
Hal ini terjadi karena bentuk Negara Indonesia berubah dari bentuk kesatuan ke
bentuk serikat atau federal.
Konstitusi kedua yang berlaku di indonesi adalah
Konstitusi Republik Indonesia Serikat disingkat KRSI atau UUDSRIS. Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS) atau UUDSRIS 1949 berlaku di Republik
Indonesia Serikat (RIS). Jadi, dengan berubahnya bentuk Negara Indonesia
menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) maka Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (KRIS) menjadi undang-undang dasarnya. Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia 18 Agustus 1945 tetap berlaku tetapi hanya di salah satu Negara
bagian RIS yaitu Negara Republik Indonesia (RI) yang beribu kota Yogyakarta.
Konstitusi RIS atau UUD RIS 1949 terdiri atas:
a.
Mukadimah
yang terdiri dari 4 alinea.
b.
Bagian
batang tubuh yang terdiri atas 6 bab, 197 pasal dan lampiran.
Beberapa ketentuan pokok dalam UUD RIS 1949 antara
lain:
a.
Bentuk
Negara adalah serikat, sedang bentuk pemerintahan adalah republic.
b.
System
pemerintahan adalah parlementer. Dalam system pemerintahan ini, kepala
pemerintah dijabat oleh seorang perdana menteri. Perdana menteri RIS saat itu
adalah Moh. Hatta.
Konstitusi yang berlaku setelah UUD RIS adalah
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS)
1950 dimaksudkan sebagai pengganti dari UUD RIS 1949 setelah Indonesia kembali
ke bentuk Negara kesatuan. Perubahan UUDS RIS menjadi UUDS 1950 dituangkan
dalam Undang-Undang Federal No. 7 Tahun 1950 tentang perubahan Konstitusi
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia.
UUDS 1950 terdiri atas:
a.
Mukadimah
yang terdiri dari 4 alinea.
b.
Batang
tubuh yang terdiri atas 6 bab dan 146 pasal.
Isi pokok yang diatur dalam UUDS 1950 antara lain:
a.
Bentuk
Negara Kesatuan dan bentuk pemerintahan republik;
b.
Sistem
pemerintahan adalah parlementer menurut UUDS 1950;
c.
Adanya
badan Konstituante yang akan menyusun undang-undang dasar tetap sebagai
pengganti dari UUDS 1950.
UUDS 1950 berlaku dari tanggal 17 agustus 1950 sampai
5 Juli 1959. Dalam sejarahnya lembaga Konstituante yang diberi tugas menyusun
undang-undang dasar baru pengganti UUDS 1950 tidak berhasil menyelesaikan
tugasnya. Situasi ini kemudian memicu munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pada tanggal 5 Juli 1959 presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang isinya
sebagai beriku:
1.
Menetapkan
pembubaran konstituante;
2.
Menetapkan
berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3.
Pembentukan
MPRS dan DPAS.
Dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
diberlakukan kembali UUD Negara Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 yang
selanjutnya dikenal dengan nama UUD 1945. Isi UUD 1945 berdasarkan Dekrit
Presiden ini dengan demikian tidak berbeda dengan Undang-Undang Dasar tanggal
18 Agustus 1945.
UUD 1945 berlaku dari tanggal 5 Juli 1959 sampai tahun
1999. UUD 1945 ini berlaku pada dua masa pemerintahan yaitu:
a.
Masa
pemerintahan Presiden Soekarno dari tanggal 5 Juli 1959 sampai 1966;
b.
Masa
pemerintahan Presiden Soeharto dari tahun 1966 sampai 1998.
Dalam dua masa pemerintahan tersebut UUD 1945 tidak
diadakan perubahan. Sesudah berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto,
UUD 1945 mengalami perubahan atau amandemen.
2.5.1
Pancasila Pasca
Amandemen UUD 1945
Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi
mulai dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada
Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah
perubahan UUD 1945, yaitu:[2]
1.
sepakat
untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2.
sepakat
untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.
sepakat
untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus
menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4.
sepakat
untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam
pasal-pasal UUD 1945; dan
5.
sepakat untuk
menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan
menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR[3] dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang
Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi
Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang
perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan
Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR
Tahun 1999 yang arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat
kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.[4] Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun
2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,
menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan
ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.[5] Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR
Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan
negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang
Pemilihan Umum.[6]
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR
Tahun 2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang
kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan
tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta
aturan tambahan.[7]
Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir
keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir
ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945
mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian
menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak
akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama sebagai puncak
abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama
warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau
kemajemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita
bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee
(cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common
platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat
dalam konteks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh William
G. Andrews disebut sebagai Kesepakatan (consensus) pertama.
Pancasila
sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan
kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya
Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai
dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah
sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai
Pancasila. Hal ini sesuai
dengan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan
dalam sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan
perkembangan masyarakat.
2.5.2
Pancasila Sebagai Materi Konstitusi
Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia,
Pancasila adalah filosofische grondslag dan common platforms atau
kalimatun sawa. Pancasila adalah dasar negara. Pertanyaan selanjutnya
adalah bagaimana kedudukan Pancasila dalam tata hukum nasional?
Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan
Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih
menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada
di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental
negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan
Hans Nawiasky.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah
hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie)[8]. Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut
adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie
von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut
adalah:[9]
1.
Norma
fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.
Aturan
dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.
Undang-undang
formal (formell gesetz); dan
4.
Peraturan
pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu
negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai
syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada
terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[10]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen
disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya
tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm,
atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak
berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta
atau revolusi.[11]
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi
membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata
hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia
dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata
hukum Indonesia adalah:[12]
1)
Staatsfundamentalnorm: Pancasila
(Pembukaan UUD 1945).
2)
Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR,
dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)
Formell gesetz: Undang-Undang.
4)
Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis
mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Penempatan
Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh
Notonagoro[13].
Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang
pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk
mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum
positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka
pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari
nilai-nilai Pancasila.[14]
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm
berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian,
Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas
konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak
kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan
yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD
1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan
menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi
negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada
konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi
pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas
konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana
validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang
merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma
mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid[15]. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical
pressuposition.[16]
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang
sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak,
kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang
mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut
adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.[17]
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu
norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar
tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid
tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena
dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini
tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma
pembuat hukum.[18]
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah
dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah
yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya
diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan
staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm
pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat
berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[19]
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan
pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit
untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.[20] Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata
hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau
revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain
dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi
menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan
dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum
baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama[21].
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky
tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan
oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan
oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya
Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau me-rupakan
bagian dari konstitusi?
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas
dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut
dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara
Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau
pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[22]
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah
rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno,
anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan
maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan
tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir.
Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto
Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim.
Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan
diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.[23] Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah
terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup
besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan
BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota
BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh
Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno
sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka
hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya
menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische
grondslag dan Weltanschauung
bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD
1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok
pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu; (1) bahwa Negara Indonesia adalah negara
yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; (2)
bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya;
(3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk
dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa Negara
Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.[24]
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia
mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan
sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan
bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena
itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses
perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya
berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan
pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan
perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan
kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan
keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan
negara dan dasar negara.[25]
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang
kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk
pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa
Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara
secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya
berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut
sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945
merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamentalnorm
maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD
1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan
norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar
(staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah
yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari
keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi
suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok
pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum
dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang
tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam
pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan
masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung).
Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan
pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan
UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat
dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan
dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu
masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan
penasehat[26]. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan
pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD
1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya
perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”[27]
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu
kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945
sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya
sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD
1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau
Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah
konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan
pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam
pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945
dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan
UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945
secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang
mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus
1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari
Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan
sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah.
Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan
konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi,
maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila,
benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum
Indonesia.
Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms,
lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang
mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi
menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena
dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia,
yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order).
Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir
yuridis (juristic thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi
konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah
presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus
meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.
BAB III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Melihat dengan adanya pembahasan yang telah diuraikan
dalam bab sebelumnya. Maka penyusun dapat memberikan kesimpulan bahwa
Kata
negara dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa sanksekerta nagan atau negara, yang berarti wilayah, kota, atau penguasa.
Bela negara secara umum
diartikan sebagai sikap dan tingkah laku seluruh warga negara tiang dilandasi
oleh kecintaan terhadap bangsa dan negara dalam menjamin kelangsungan hidup
bangsa dan negara Indonesia.
Pendidikan
kewarganegaraan suatu pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang bertolak dari nilai-nilai agama, sosio,
kultural, bahasa, dan adat istiadat untuk menjadi warga negara indonesia yang
cerdas, terampi, dan berkualitas seperti diamanatkan oleh Pancsila dan UUD 1945.
Pengabdian warga negara adalah perbuatan baik berupa
karya maupun jasa yang disumbangkan dalam
lingkup keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.
a.
Wujud perlawanan rakyat semesta
dilakukan melalui:
Mempersenjatai rakyat baik secara fisik maupun nonfisik.secara fisik antara lain dengan memberikan keterampilan bela negara yang diselenggarakan pemerintah, secara nonfisik atau psikis antara lain melalui penanaman ideologi pancasila.
Mempersenjatai rakyat baik secara fisik maupun nonfisik.secara fisik antara lain dengan memberikan keterampilan bela negara yang diselenggarakan pemerintah, secara nonfisik atau psikis antara lain melalui penanaman ideologi pancasila.
b.
Mengembangkan kemanunggalan TNI dengan seluruh
rakyat indonesia sebagai sumber kekuatan .
Keikutsertaan warga
negara dalam upaya bela negara, dapat diselanggarakan melalui:
1.
Pendidikan kewarganegaraan.
2.
latihan dasar kemiliteran secara wajib.
3.
Pengabdian sebagai prajurit tentara
nasional indonesia secara suka rela atau secara wajib
4.
Pengabdian sesuai profesi kita masing-masing.
Sebagai pelajar,wujud
partisipasi kita dalam usaha bela negara dapat kita laksanakan di berbagai
lingkungan seperti:
1.
Dalam lingkungan keluarga,
2.
Dalam lingkungan sekolah
3.
Dalam lingkungan masyarakat
4.
Dalam lingkungan bangsa dan negara.
Konstitsi berasal dari istilah bahasa prancis “constituer”
yang artinya membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan untuk
pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negra. Konstitusi
ini bisa diartikan pula sebagai peraturan dasar mengenai pembentukan negara.
1.
Konstitusi dalam pengertian luas adalah
keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar.
2.
Konstitusi dalam pengertian sempit berarti
piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) ialah
suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara.
3.
ECWade
Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut.
Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut.
4.
HermanHeller
menamakan undang-undang dasar sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan.
menamakan undang-undang dasar sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan.
5.
Lasalle
pengertian konstitusi adalah Kekuasaan antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat (faktor kekuatan riil : presiden, TNI, Partai; buruh, tani dsb)
pengertian konstitusi adalah Kekuasaan antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat (faktor kekuatan riil : presiden, TNI, Partai; buruh, tani dsb)
Istilah konstitusi bisa dipersamakan dengan hukum dasar
atau undang-undang dasar. Kata konstitusi dalam kamus besar bahasa indonesia
diartikan sebagai:
a.
Segala
ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan;
b.
Undang-undang
dasr suatu negara.
1.2
DAFTAR PUSTAKA
Tim
ICCE UIN JAKARTA. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat
Madani. ICCE UIN JAKARTA, Jakarta.
Adnan
Buyung Nasution. 1995. Aspirasi
Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Jakarta: Grafitti.
Jimly
Asshidiqie. 2002. Konstitusi dan
konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara, UI.
. 2004. Forma Kelembagaan Negara dan pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Jakarta: Fakutas Hukum UII Press.
. 2005. Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia.
Ahmad,
Zainal Abidin, Piagam Nabi Muhammad saw:
Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia,Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Attamimi,
A. Hamid S. 1990. Peranan Keputusan
Presiden Rpublik Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertai.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Simongkir,
J.C.T. 1984. Penetapan UUD dilihat dari
segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Kusuma, RM. A.B. Lahirnya
Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
[1]
Brian Thompson, Textbook on
Constitutional and Administrative law, edisi ke-3, blackstone Press Itd.,
London, 1997 hal.3
[2]
Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999
tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
[3] Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi
berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang
Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
[4] Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15,
Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.
[5]
Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal
18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA,
Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F,
Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal
36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
[6]
Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah
ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4),
Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal
7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan
(2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1),
(2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E
ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal
23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat
(1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A
ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal
24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.
[7]
Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam
Perubahan Keempat ini meliputi Pasal 2
ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16,
Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3),
(4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4)
dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3),
(4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I
dan II UUD 1945.
[8]
Teori Hans Kelsen ini dapat dipelajari dalam tiga bukunya yaitu Pure Theory of Law: Introduction to the Problematic of Legal
Science; Pure Theory of Law; dan General Theory of Law and State.
[9]
Ibid., hal. 37. A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi
Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun
Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
[10]
Ibid.
[11]
Ibid., hal. 359.
[12]
Ibid. Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.
Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah
ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[13] Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok
Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara,
Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun).
[14]
Attamimi, Op Cit., hal. 309.
[15]
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders
Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 115.
[16]
Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Translation from the Second (Revised
and Enlarged) German Edition, Translated by: Max Knight, (Berkeley, Los
Angeles, London: University of California Press, 1967), hal. 201 – 205.
[17]
Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 115
[18]
Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 116. Kelsen, Pure Theory of Law, Op
Cit., hal. 195.
[19]
Attamimi, Op Cit., hal. 359. Nawiasky, Op Cit., hal. 31 – 37.
[20]
Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 124 – 125. Kelsen, Pure Theory, Op
Cit., hal. 221 – 224.
[21]
Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 117.
[22]
Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2004), hal. 117, 121, 128 – 129.
[23] Kusuma, Op Cit., hal. 130, catatan kaki no. 229.
[24] Pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 ini dimuat dalam
Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan UUD 1945 yang menghilangkan penjelasan
ini. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 51.
[26] Kusuma, Op Cit., hal. 132 – 137.
[27]
Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.