Senin, 02 Januari 2012

negara dan konstitusi


MAKALAH
NEGARA DAN KONSTITUSI
Untuk Memenuhi Tugas Diskusi Mata Kuliah
Pendidikan Kewarga Negaraan
Dosen Pembina: Drs. MBM. Munir
                                                                                                                                       

 

                                                                                                 
                                                                                                 
                                                         
Di susun oleh kelompok 2:
§      Buistu Rumaf
§      Sumiyatun
§      Aryadi
§      Husnul Maarif
§      M.Zaki Abd
§      Denik Saromah


UNIVERSITAS ISLAM MALANG
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA





 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
    Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi causa prima penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang all size itu akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan.
Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.
Secara umum Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan setelah abad pertengahan yang ditandai dengan ide demokrasi dapat dikatakn: tanpa konstitusi, Negara tidak mungkin terbentuk. Konstitusi merupakan hokum dasarnya suatu Negara. Dasar-dasar penyelenggaraan bernegara didasarkan pada konstitusi sbagai hokum dasar.
Negara yang berlandaskan pada suatu konstitusi dinamakan Negara konstitusional (constitutional state). Akan tetapi, untuk dapat dikatakan secara ideal sebagai Negara konstitusional maka konstitusi Negara tersebut harus memenuhi sifat atau ciri-ciri dari konstitusionalisme (constitutionalism). Jadi, Negara tersebut harus pula menganut gagasan tentang konstitusionalisme sendiri merupakan suatu ide, gagasan, atau paham.
      

1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apakah pengertian Negara?
1.2.1.1  Sebutkan sifat-sifat Negara
1.2.1.2 Jelaskan Tentang pertahanan Negara
1.2.2 Apakah pengertian konstitusi?
1.2.2.1 Jelaskan sejarah lahirnya konstitusi di Indonesia
1.2.2.2 Jelaskan kedudukan konstitusi
1.2.2.3 Jelaskan dan sebutkan isi, tujuan, dan fungsi Konstitusi negara.
1.2.5. Bagaimanakah pentingnya Konstitusi dalam suatu Negara
 1.2.6  Jelaskan perubahan konstitusi di Indonesia dan di beberapa Negara
1.2.7  Jelaskan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia.
1.2.7.1  Jelaskan Pancasila Amandemen UUD 1945
1.2.7.2  Pancasila Sebagai Materi Konstitusi


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN  NEGARA
Negara merupakan suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (territorial) tertentu dengan mengakui adanaya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya.Organisasi negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya organisasi, ada organisasi-organisasi lain (keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan organisasi lainnya yang masing-masing memiliki kepribadian yang lepas dari masalah kenegaraan). Secara umum negara dapat diartikan sebagai suatu organisasi utama yang ada di dalam suatu wilayah karena memiliki pemerintahan yang berwenang dan mampu untuk turut campur dalam banyak hal dalam bidangorganisasi-organisasilainnya.
Terdapat beberapa elemen yang berperan dalam membentuk suatu negara. Elemen-elemen tersebut adalah
 1.Masyarakat

Masyarakat merupakan unsur terpenring dalam tatanan suatu negara. Masyarakat atau rakyat merupakan suatu individu yang berkepentingan dalam suksesna suatu tatanan dalam pemerintahan. Pentingnya unsur rakyat dalam suatu negara tidak hanya diperlukan dalam ilmu kenegaraan (staatsleer) tetapi perlu juga perlu melahirkan apa yang disebut ilmu kemasyarakatan (sosiologi) suatu ilmu pengetahuan baru yang khusus menyelidiki, mempelajari hidup kemasyarakatan. Sosiologi merupakan ilmu penolong bagi ilmu hukum tatanegara.

2.Wilayah(teritorial)

Suatu negara tidak dapat berdiri tanpa adanya suatu wilayah. Disamping pentingnya unsur wilayah dengan batas-batas yang jelas, penting pula keadaan khusus wilayah yang bersangkutan, artinya apakah layak suatu wilayah itu masuk suatu negara tertentu atau sebaliknya dipecah menjadi wilayah berbagai negara. Apabila mengeluarkan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya hanya berlaku bagi orang-orang yang berada di wilayahnya sendiri. Orang akan segera
sadar berada dalam suatu negara tertentu apabila melampaui batas-batas wilayahnya setelah berhadapan dengan aparat (imigrasi negara) untuk memenuhi berbagai kewajiban yang ditentukan.

Paul Renan (Perancis) menyatakan satu-satunya ukuran bagi suatu masyarakat untuk menjadi suatu negara ialah keinginan bersatu (le desir de’etre ansemble). Pada sisi lain Otto Bauer menyatakan, ukuran itu lebih diletakkan pada keadaan khusus dari wilayah suatu negara.

3.Pemerintahan

Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah pemerintahan memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu negara dan berada dalam wilayah negara.
Ada empat macam teori mengenai suatu kedaulatan, yaitu teori kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat:
1.    Teori kedaulatanTuhan (Gods souvereiniteit)
Teori kedaulatan Tuhan (Gods souvereiniteit) meyatakan atau menganggap kekuasaan pemerintah suatu negara diberikan oleh Tuhan. Misalnya kerajaan Belanda, Raja atau ratu secara resmi menamakan dirinya Raja atas kehendak Tuhan “bij de Gratie Gods”, atau Ethiopia (Raja Haile Selasi) dinamakan “Singa Penakluk dari suku Yuda yang terpilih Tuhan menjadi Raja di Ethiopia”.
2.    Teori kedaulatan Negara (Staats souvereiniteit)
Teori kedaulatan Negara (Staats souvereiniteit)menganggap sebagai suatu axioma yang tidak dapat dibantah, artinya dalam suatu wilayah negara, negaralah yang berdaulat. Inilah inti pokok dari semua kekuasaan yang ada dalam  wilayah suatu negara. Otto Mayer (dalam buku Deutsches Verwaltungsrecht) menyatakan “kemauan negara adalah memiliki kekuasaan kekerasan menurut kehendak alam”. Sementara itu Jellinek dalam buku Algemeine Staatslehre menyatakan kedaulatan negara sebagai pokok pangkal kekuasaan yang tidak diperoleh dari siapapun. Pemerintah adalah “alat negara”.
3.    Teori kedaulatan hukum (Rechts souvereiniteit)
Teori kedaulatan hukum (Rechts souvereiniteit) menyatakan semua kekuasaan dalam negara berdasar atas hukum. Pelopor teori ini adalah H. Krabbe dalam buku Die Moderne Staats Idee.
4.    Teori Kedaulatan Rakyat (Volks aouvereiniteit),
Teori Kedaulatan Rakyat (Volks aouvereiniteit), semua kekuasaan dalam suatu negara didasarkan pada kekuasaan rakyat (bersama). J.J. Rousseau (Perancis) menyatakan apa yang dikenal dengan “kontrak sosial”, suatu perjanjian antara seluruh rakyat yang menyetujui Pemerintah mempunyai kekuasaan dalam suatu negara.
Di dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan, 3 unsur negara menjadi 4 bahkan 5 yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan, UUD (Konstitusi) dan pengakuan Internasional (secara de facto maupun de jure).

2.1.1 Sifat-sifat Negara
Negara mempunyai sifat-sifat khususnya yang merupakan bentuk nyata dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada Negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya. Sifat-sifat Negara tersebut yaitu sifat memaksa, sifat monopoli dan sifat mencakup semua.
1.             Sifat memaksa
Artinya Negara mempunyai kekuasaan untuk memakai kekuasaan fisik secara resmi agar peraturan perundang-undangan ditaati sehingga tujuan suasana masyarakat yang tertib dan damai dapai tercapai. Pemahaman Negara juga bertujuan untuk mencegah timbulnya anarki sarana yang digunakan untuk memaksa adalah polisi dan tentara. Pemakaian paksaan melalui tindak kekerasan bukanlah satu-satunya pilihan. Alat Negara dapat juga melakukan sikap dan perbuatan yang persusif.
2.             Sifat Monopoli
Artinya, Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dan masyarakat. Negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran keprcayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebar luaskan karena bertentangan dengan tujuan masyarakat.
3.                  Sifat Mencakup Semua
Artinya, semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali. Hal ini bertujuan agar usaha Negara kearah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan dapat diwujudkan.
2.1.2 Pertahanan Negara
Pertahanan negara sebagai salah satu wujud atau bentuk bela negara merupakan usaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mecapai tujuan nasional,yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia,memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi,dan keadilan sosial.
Usaha pertahanan negara di indonesia di selenggarakan berdasarkan UU No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kadaulatan negara,keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik indonesia,dan keslamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
           
Pelaksanaan pertahanan negara di selenggarakan oleh tiga komponen bangsa, yaitu:
1.             Komponen Utama adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang siap di gunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.
2.             Komponen Cadangan adalah sumber daya nasional yang telah di siapkan untuk di kerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama.
3.             Komponen Pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat di gunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Selanjutnya pelaksanaan pertahanan negara di dasarkan pada (Pasal 3 UU No.3 Tahun 2002):
·                Prinsip demokrasi,hak asasi manusia,kesejahteraan umum,lingkungan hidup,ketentuan hukum nasional,hukum internasional, dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai.
·                Pertahanan negara di susun dengan mempertahankan kondisi geografis indonesia sebagai negara kepulauan.
Pertahanan negara di selenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan,daya tangkal negara dan bangsa,serta menanggulangi setiap ancaman.Tentara nasional indonesia dalam hal penyelenggaraan pertahanan negara berbeda di garis depan.
Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi Tentara Nasional Indonesia, yang meliputi:
1.             Mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah
2.             Melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa
3.             Menjalankan operasi militer selain perang
4.             Ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Dalam hal pertahanan keamanan warga negara berperan sebagai komponen cadangan berbarengan dengan sumber daya alam,sumber daya buatan,serta sarana dan prasarana nasional.Warga negara beserta komponen lain disiapkan untuk di kerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama.Pendayagunaan warga negara sebagai komponen cadangan pertahanan keamanan dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan,keanekaragaman, dan produktivitas warga negara.Meskipun,bela negara merupakan hak sekaligus kewajiban tiap warga negara,Namun mobilisasi warga negara tidak boleh di lakukan secara sembarangan.Pengelolaan warga negara sebagai komponen cadangan pertahanan negara merupakan wewenang dan tanggung jawab presiden. Dalam rangka mempermudah proses koordinasi dalam proses pengelolaan pertahanan negara,Presiden di bantu oleh Dewan pertahanan nasional.

Dalam rangka melaksanakan fungsinya,dewan pertahanan nasional mempunyai tugas:
1.             Menelaah,menilai dan menyusun kebijakan terpadu pertahanan negara agar departemen pemerintah,lembaga pemerintah non departemen,dan masyarakat beserta tentara nasional indonesia dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mendukung penyelenggaraan pertahanan negara.
2.             Menelaah,menilai, dan menyusun kebijakan terpadu pengerahan komponen pertahanan negara dalam rangka mobilisasi dan dembilisasi.
3.             Menelaah dan menilai risiko dari kebijakan yang akan di tetapkan.
Dewan Pertahanan Nasional di pimpin oleh presiden dengan keanggotaan yang terdiri atas:
1.             Anggota tetap,terdiri atas wakil presiden,Menteri pertahanan,Menteri luar negeri,Menteri dalam negeri,dan panglima TNI.
2.             Anggota tidak tetap,terdiri atas pejabat pemerintahan dan non pemerintah yang di anggap perlu sesuai dengan masalah yang di hadapi.Anggota tidak tetap dari unsur pemerintahan di usulkan dan di angkat oleh presiden sedangkan dari unsur non pemerintah di usulkan oleh dewan perwakilan rakyat dan di angkat oleh presiden.

2.2  PENGERTIAN KONSTITUSI
Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar dsb.), atau Undang-Undang Dasar suatu Negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa beruba kebijakan  yang tidak didasarkan atau menyimpangi dari konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Sementara menurut Assiddiqie (2006), konstitusi adalah hokum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu Negara. Konstitusi dapat berupa hokum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Tidak semua Negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar.
Konsitusi juga dapat diartikan sebagai hokum dasar. Para pendiri Negara kita (th founding fathers) menggunakan istilah hukum dasar. Dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan: “Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hokum dasar Negara itu. Undang-Undang Dasar adalah hokum dasar yang tertulis, sedang disamping Undang-Undang Dasar tersebut berlaku juga hokum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik dan penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis”. Hokum dasar tidak tertulis disebut konvensi.
Adapun pengertian konstitusi menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a.              Herman Heller, membagi pengertian konstitusi menjadi tiga:
1)        Konstitusi dalam pengertian politik sosiologis. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan.
2)        Konstitusi merupakan satu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat yang selanjutnya dijadikan suatu kesatuan kaidah hokum. Konstitusi dalam hal ini sudah mngandung pengertian yuridis.
3)        Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sabagai Undang-Undang yang tinggi yang berlaku dalam suatu Negara.
b.             K.C Wheare mengartikan konstitusi sebagai “keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara, berupa kumpulan peraturan yang membentuk yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara”.
c.              Prof. Prayudi Atmosudirdjo merumuskan konstitusi sebagai berikut.
1)   Konstitusi suatu Negara adalah hasil atau produk sejarah dan proses perjuangan bangsa yang bersangkutan.
2)   Konstitusi suatu Negara adalah rumusan dari filsafat, cita-cita, kehendak, dan perjuangan bangsa Indonesia.
3)   Konstitusi adalah cermin dari jiwa, jalan pikiran, mentalitas, dan kebudayaan suatu bangsa.
d.             Brian Thompson, secara sederhana pernyataan: “what is aconstitution’ dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rule for the operation of an organization”[1].
Konstitusi dapat diartikan secara luas dan sempit, sebagai berikut:
a.              Konstitusi (hokum dasar) dalam arti luas meliputi hokum dasar tertulis dan tidak tertulis.
b.             Konstitusi (hokum dasar) dalam arti sempit adalah hokum dasar tertulis, yaitu undang-undang dasar. Dalam pengertian ini undang-undang dasar merupakan konstitusi atau hokum dasar yang tertulis.
2.2.1 Sejarah Lahirnya Konstitusi di Indonesia
Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai dalam bahasa Jepang yang beranggotakan 21 orang, diketuai Ir.Soekarno dan Drs.Moh.Hatta sebagai wakil dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa,3 orang dari Sumatra, dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. BPUPKI ditetapkan berdasarkan Maklumat Gunseikan Nomor 23 bersamaan dengan ultah Tenno Heika pada tanggal 29 April 1945.
BPUPKI menentukan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka yang dikenal dengan nama UUD 1945. tokoh-tokoh perumusnya antara lain Dr.Rajman Widiodiningrat, Ki Bagus Hadi Koesemo, Oto Iskandardinata, Pangeran purboyo, Pangeran Soerjohamindjojo dan lain-lain.
UUD 1945 dibentuk untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di kemudian hari. Setelah kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan sehingga lengkaplah Indonesia menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut :
1.             Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan Undang – Undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.
2.             menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
3.             memilih ketua persiapan Kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.
4.             pekerjaan presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(Komite Nasional).
Dengan terpilihnya atas dasar UUD 1945 ,maka secara formal Indonesia sempurna menjadi sebuah Negara, sebab syarat – syarat yang lazim diperlukan oleh setiap Negara telah ada, yaitu adanya :
1.    Rakyat .
2.    Wilayah.
3.    Kedaulatan.
4.    Pemerintahan
5.    Tujuan Negara.
6.    Bentuk Negara

2.2.2  KEDUDUKAN KONSTITUSI
Konstitusi menepati kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan ketatanegaraan suatau Negara karena konstitusi menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu. Selain itu, konstitusi juga merupakan ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding fathers, serta memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan suatu Negara yang mereka pimpin.
Konstitusi  secara umum berisi hal-hal yang mendasar dari suatu Negara. Hal-hal mendesar itu adalah aturan-aturan atau norma-norma dasar yang dipakai sebagai pedoman pokok bernegara.
Meskipun konstitusi yang ada di dunia ini berbeda-beda baik dalam hal tujuan, bentuk dan isinya, tetapi pada umumnya mereka mempunyai kedudukan formal yang sama, yaitu sebagai (a) hukum dasar, dan (b) hukum tertinggi.
a.        Konstitusi sebagai hukum dasar
Konstitusi berkedudukan sebagai Hukum Dasar karena ia berisi aturan dan ketentuan tentang hal-hal yang mendasar dalam kehidupan suatu Negara. Secara khusus konstitusi memuat aturan tentang badan-badan pemerintahan (lembaga-lembaga Negara), dan sekaligus memberikan kewenangan kepadanya. Misalnya saja, di dalam konstitusi biasanya akan ditentukan adanya badan legislative, cakupan kekuasaan badan legislative tersebut dan produser  penggunaan kekuasaannya, demikian pula dengan lembaga eksekutif dan yudikatif.
Jadi konstitusi menjadi :
(a)    Dasar adanya
(b)   Sumber kekuasaan bagi setiap lembaga Negara.
Oleh karena itu konstitusi juga mengatur kekuasaan badan legislative (pembuat undang-undang), maka UUD juga merupakan
(c)    Dasar adanya dan sumber bagi isi sturan hukum yang ada dibawahnya.
b.         Konstitusi sebagai Hukum tertinggi
Konstitusi lazimnya juga diberi kedudukan sebagai hukum tertinggi dalam tata hukum Negara yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa aturan-aturan yang terdapat dalam konstitusi, secara hierarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi (superior) terhadap aturan-aturan lainnya. Oleh karena itulah aturan-aturan lain yang dibuat oleh pembentuk undang-undang harus sesuai atau tidak bertentangan dengan undang-undang dasa
2.2.3  ISI, TUJUAN, dan FUNGSI KONSTITUSI NEGARA   
Konstitusi merupakan tonggak atau awal terbentuknya suatu negara. Konstitusi menjadi dasar utama bagi penyelenggaraan bernegara. Karena itu konstitusi menempati posisi penting, dan strategis dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Prof. Hamid S. Attamimi mengatakan bahwa konstitusi atau Undang-Undang Dasar merupakan pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus merupakan petunjuk bagaimana suatu negara harus dijalankan.
Hal-hal yang diatur dalam konstitusi negara pada umumnya berisi tentang pembagian kekuasaan negara, hubungan antarlembaga negara, dan hubungan negara dengan warga negara. Aturan-aturan itu masih bersifat umum dan secara garis besar. Aturan-aturan itu selanjutnya dijabarkan lebih lanjut pada aturan perundangan di bawahnya.
Menurut Mirriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, konstitusi atau Undang-Undang dasar memuat ketentuan-ketentuan sebagai  berikut.
1.             Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam negara federal, yaitu masalah pembagian kekuasaan antara pemerintah federal engan pemerintah negara bagian, prosedur penyelasaian masalah pelanggaran yurisdiksi lembaga negara.
2.             Hak-hak asasi manusia.
3.             Prosedur mengubah undang-undang dasar.
4.             Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat-sifat tententu dari undang-undang dasar. Hal ini untuk menghindari terulangnya hal-hal yang telah diatasi dan tidak dikehendaki lagi. Misalnya, Undang-Undang Dasar Jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme sebab bila menjadi unitarisme dikhawatirkan dapat mengembalikan munculnya seorang Hitler.
Apabila kita membaca pasal demi pasal dalam UNDANG-UNDANG DASAR 1945 maka kita dapat mengetahui beberapa hal yang menjadi isi daripada konstitusi Republik Indonesia ini. Hal-hal ini yang diatur dalam UNDANG-UNDANG DASAR 1945 antara lain:
1.             Hal-hal yang sifatnya umum, misalnya tentang kekuasaan dalamnegara dan idenitas-identitas negara.
2.             Hal yang menyangkut lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga nrgara, ungsi, tugas, hak, dan kewenangannya.
3.             Hal yang mnyangkut hubungan antar negara dengan warga negara, yaitu hak dan kewajiban negara terhadap warganya ataupun hak dan kewajiban warga negara terhadap negara, termasuk juga hak asasi manusia.
4.             Konsepsi atau cita negara dalam bernbagai bidang, misalnya bidang pendidikan, kesejahteraan, ekonomi, sosial, dan pertahanan.
5.             Hal mengenai perubahan undang-undang dasar.
6.             Ketentuan-ketentuan peralihan atau ketentuan transisi.
Gagasan konstitutionalisme menyatakan bahwa konstitusi di suatu negara memiliki sifat membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak dasar warga negara. Sejalan dengan sifat membatasi kekuasaan pemerintahan maka konstitusi secara ringkas memiliki 3 tujuan, yaitu:
a)             Memberi pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik;
b)             Melepaskan kontrol kekuasaan dari penguasa itu sendiri;
c)             Memberi batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya (ICCE UIN, 2000).
Selain itu, konstitusi negara bertujuan menjamin pemenuhan hak-hak dasar warga negara, konstitusi negara memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut (Jimly Asshiddiqie, 2002).
a.              Fungsi penentu atau pembats kekuasaan negara.
b.             Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara.
c.              Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antara organ negara dengan warga negara.
d.             Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
e.              Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (dalam demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.
f.              Fungs simbolik yaitu sebagai sarana pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation) serta sebagai center of ceremony.
g.             Fungsi sebagai sarana pengembalian masyarakat (social control0, baik dalam arti sempit yaitu bidang politik dan dalam arti luas mencakup bidang social ekonomi.
h.             Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan mesyarakat (social engineering atu social reform) .

2.3  PENTINGNYA KONSTITUSI DALAM SUATU NEGARA
Eksistensi konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan merupakan suatu hal yang sangat krusial, karena tanpa konstitusi bisa jadi tidak akan terbentuk suatu Negara. Dalam lintasan sejarah hingga awal abad ke-21 ini, hamper tidak ada Negara yang tidak memiliki konstitusi. Hal ini menunjukkan betapa urgennya konstitusi sebagai suatu perangkat Negara. Konstitusi dan Negara ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak terpisahkan.
Sejalan dengan perlunya konstitusi sebagai instrument untuk membatasi kekuasaan dalam suatu Negara, Miriam Budi ardjo mengatakan “Di dalam Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional. Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga Negara akan lebih terlindungi.
Dalam konteks pentingnya konstitusi sebagai pemberi batas kekuasaan tersebut,Kusnardi membagi fungsi konstitusi menjadi 2 yaitu:
1.    Membagi kekuasaan dalam Negara.
2.    Membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam Negara.
3.    Deskripsi yang menyangkut masalah hak asasi manusia.
Mengingat pentingnya konsitusi dalm suatu Negara ini, Struycken dalam bukunya “Staatsrecht Van Het Koninkrijk der Nederlander” menyatakan bahwa Undang-undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisikan:
1.    Hasil perjuangan poliik bangsa di waktu yang lampau.
2.    Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3.    Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik untuk waktu sekarang maupun untukyang akan datang.
4.    Suatu keinginan, dimana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Keempat materi yang terdapat dalam konstitusi undang-undang tersebut, menunjukkan arti pentingnya suatu konstitusi yang menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa, serta memberikan arahan dan pedoman bagi generasi penerus bangsa dalam menjalankan suatu Negara.
Dari beberapa pakar tersebut, maka dapat dikatakan bahwa eksistensi konstitusi dalam suatu Negara merupakan suatu keniscahyaan, karena adanya konstitusi akan tercipta pembatasan kekuasaan melalui pembagian wewenang dan kekuasaan dalam menjalankan Negara. Selain itu juga sangat penting untuk menjamin hak-hak asasi warga Negara sehingga tidak terjadi penindasan dan perlakuan sewenang-wenang dari pemerintah.

2.4  PERUBAHAN KONSTITUSI DI INDONESIA DAN DI BEBERAPA NEGARA
1. Indonesia
Dalam UUD 1945 menyediakan satu pasal yang berkenaan dengan caraperubahan UUD, yaitu pasal 37 yang menyebutkan:
1.    Untuk mengubah UUD sekurang-kuranngnya 2/3 daripada anggota MPR harus hadir;
2.    Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah angggota yang hadir.
Pasal 37 terrsebut mengandung tiga norma, yaitu:                                                       
1.    Bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai lembaga tertinggi negara;
2.    Bahwa untuk mengubah UUD, kuorum yang dipenuhi sekurang-kurangnya adalh 2/3 dari sejumlah anggota MPR;
3.    Bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir.
Jika dihadapkan pada klasifikasi yang disampaikan KC. Wheare, merupakan bentuk konstitusi bersifat “tegar”, karena selain tata cara perubahannya tergolong sulit, juga karena dibutuhkannya prosedur khusus. Menurut KC. Wheare, tingkat kesulitan perubahan-perubahan konstitusi memilki motif-motif tersendiri yaitu:
1.    Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak secara serampangan dan dengan sadar (dikehendaki);
2.    Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan dilakukan;
3.    Agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas agama atau kebudayaanya mendapat jaminan.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, Konstitusi atau Undang-undang Dasar 1945 yang diberlakukan di Indonesia, telah mengalami perubahan-perubahan dan masa berlakunya di Indonesia, yakni dengan rincian sebagai berikut:
1.    Undang-undang dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949);
2.    Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950);
3.    Undang-undang Dasar Semntara Rrepublik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950-5Juli 1959);
4.    Undang-undang Dasar 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999);
5.    Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999-18 Agustus 2000);
6.    Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000-9 Nopember 2001);
7.    Undang-undang Dasar 1945 dan peereubahan I, II, dan III (9 Nopember 2001-10 Agustus 2002);
8.    Undang_undang Dasar 1945 dan perubahan I,II, III dan IV (10 Agustus 2002).
2. Amerika Serikat
Pada tahun 1777, negara ini menyusun suatu landasan kerjasama bagi ketiga belas bekas daerah jajahannya dalam bentuk Articles of Confederation. Menurut aturan ini sistem pemerintahan dilakukan oleh suatu badan yang disebut congres yang diberi kekuasaan untuk bertindak atas nama konfederasi. Namun demikian bukan berarti keputusan sepenuhnya atas nama kongres, akan tetapi keputusan itu baru bisa dilaksanakan jika disetjui oleh sekurang-kurangnya 9 negara dari 13 negara yang tergabung.
Pengalaman pemerintahan atas dasar Articles of Confederation memaksa para pemimpin negara-negara yang tergabung untuk berpikir lebih jauh ke depan. Untuk itu mereka merasa perlu melakukan perubahan secara fundamental agar berfungsinya suatu pemerintah yang sentralistik tanpa ada gangguan dan intervensi dari negara-negara berkembang. Untuk mak sud itu kongres membentuk suatu badan yang diberi nama constitutional convention yang bertugas menyiapkan konstitusi bagi negara-negara yang hendak melakukan kerjasama lebih erat. Badan ini beranggotakan 55 orang yang diwakili
13 negara yang tergabung.
Sementara itu, dalam melakukan perubahan konstitusi, Amerika telah banyak melakukan perubahan (amandemen) dengan memunculakan beberapa syarat yaitu:
1.    2/3 dari perwakilan rakyat negara-negara dapat mengajukan usul agar dijadikan perbahan terhadap Amerika Serikat;
2.    Untuk keperluan perubahan konstitusi tersebut dewan perwakilan rakyat federal harus memanggil siding konvensi;
3.    Konvensi inilah yang melaksanakan wewenang merubah konstitusi.
3. Belanda
Perubahan konstitusi kerajaan Belanda terjadi beberapa kali yaitu pada tahun 1814, 1848, dan 1972. Masalah perubahan konstitusikerajaan ini diatur dalam Bab (Hoofdstak) XIII dan terdira dari 6 pasal yaitu pasal 193 (210 lama) sampai pada pasal 198 (215 lama). Cara yang dilakukan dalam rangka perubahan itu adalah dengan memperbesar jumlah anggota staten general parlemen sebanyak dua kali lipat. Keputusan tentang perubahan atau penambahan tersebut adalah sah apabila disetujui sejumlah suara yang sama dengan dua pertiga dari yang hadir, akan tetapi dalam Grondwet (undan-undang dasar) Belanda tahun 1815 prosedur di atas diperberat, yaitu memenuhi kuorum yakni sekurang-kurangnya setengah dari anggota sidang staten general ditambah satu (UU 1814 pasal 144). Dengan demikian perubahan undang-undang dasar adalah sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya setengah oleh jumlah anggota staten general yang telah dijadikan dua kali lipat ditambah satu.
2.5  UUD 1945 SEBAGAI KONSTITUSI NEGARA INDONESIA
Konstitusi Negara Indonesia ialah Undang-Undang Dasar 1945 yang untuk pertama kali disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 agustus 1945. Dalam tata susunan peraturan perundangan Negara, UUD 1945 menempati tingkat tertinggi. Menurut jenjang norma hukum, UUD 1945 adalah kelompok staatsgrundgesetz atau aturan dasar/pokok Negara yang berada dibawah Pancasila sebagai Grundnorm  atau Norma Dasar.
1.             Konstitusi yang Pernah Berlaku di Indonesia
Dalam sejarahnya, sejak Proklamasi 17 agustus 1945 hingga sekarang di Indonesia telah berlaku tiga macam undang-undang dasar dalam empat periode, yaitu sebagai berikut.
a.              Periode 18 agustus 1945-27 Desember 1949 berlaku UUD 1945. UUD 1945 terdiri dari bagian pembukaan, batang tubuh (16 bab), 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan, 2 ayat Aturan Tambahan, dan bagian penjelasan.
b.             Periode 27 Desember 1949-17 Agustus 1950 berlaku UUD RIS. UUD RIS terdiri atas 6 bab, 197 pasal, dan beberapa bagian.
c.              Periode 17 Agustus 1950-5 Juli 1959 berlaku UUDS 1950 yang terdiri atas 6 bab, 146 pasal, dan beberapa bagian.
d.             Periode 5 Juli 1959-sekarang kembali berlaku UUD 1945.
Khusus untuk periode keempat berlaku UUD 1945 dengan pembagian berikut:
a)             UUD 1945 yang belum diamandemen.
b)             UUD 1945 yang sudah diamandemen (tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002).
Amandemen tersebut adalah:
1)      Amandemen ke-1 pada siding umum MPR, disahkan 19 Oktober 1999;
2)      Amandemen ke-2 pada siding tahunan MPR, disahkan 18 Agustus 2000;
3)      Amandemen ke-3 pada siding tahunan MPR, disahkan 10 November 2001.
4)      Amandemen ke-4 pada sidang tahunan MPR, disahkan 10 Agustus 2002
Undang-Undang Dasar Negara republic Indonesia pertama kali ditetapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945. Undang-undang dasar yang ditetapkan oleh PPKI tersebut sebenarnya merupakan hasil karya BPUPKI (Badan penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) melalui sidang-sidangnya dari tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945 dan tanggal 10 Juli sampai 16 Juli 1945. Hasil karya PBUPKI itulah yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Indonesia setelah mengalami perubahan seperlunya oleh PPKI.
Sidang PPKI pertama berlangsung tanggal 18 agustus 1945 yang menghasilkan 3 keputusan penting, yaitu sebagai berikut:
a.              Mengesahkan Rancangan Pembukaan Hukum Dasar Negara dan Hukum Dasar sebagai UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.             Memilih Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
c.              Membentuk sebuah Komitmen Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk membantu presiden.
Sidang PPKI mengenai pengesahan undang-undang dasar ini berlangsung sangat singkat yaitu kurang lebih dua jam. Namun dengan semangat persatuan dan keinginan untuk segera membentuk konstitusi Negara maka penetapan Undang-Undang Dasar 1945 berjalan dengan lancer. Perubahan yang dilakukan hanyalah hal-hal yang kecil saja, bukan masalah yang mendasar. Hal ini karena PPKI sudah mendapatkan naskah rancangan hukum dasar yang dihasilkan oleh BPUPKI.
Penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia oleh PPKI dilakukan dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut:
a.              Pengesahan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terdiri dari 4 alinea.
b.             Pengesahan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 18 Agustus 1945 hanya berlaku dalam waktu singkat yaitu mulai tanggal 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949. Sejak 27 Desember 1949 diberlakukan Undang-Undang Dasar baru yang disebut Konstitusi Republik Indonesi Serikat (KRSI) tahun 1949. Hal ini terjadi karena bentuk Negara Indonesia berubah dari bentuk kesatuan ke bentuk serikat atau federal.
Konstitusi kedua yang berlaku di indonesi adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat disingkat KRSI atau UUDSRIS. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) atau UUDSRIS 1949 berlaku di Republik Indonesia Serikat (RIS). Jadi, dengan berubahnya bentuk Negara Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) maka Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) menjadi undang-undang dasarnya. Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 18 Agustus 1945 tetap berlaku tetapi hanya di salah satu Negara bagian RIS yaitu Negara Republik Indonesia (RI) yang beribu kota Yogyakarta.
Konstitusi RIS atau UUD RIS 1949 terdiri atas:
a.              Mukadimah yang terdiri dari 4 alinea.
b.             Bagian batang tubuh yang terdiri atas 6 bab, 197 pasal dan lampiran.
Beberapa ketentuan pokok dalam UUD RIS 1949 antara lain:
a.              Bentuk Negara adalah serikat, sedang bentuk pemerintahan adalah republic.
b.             System pemerintahan adalah parlementer. Dalam system pemerintahan ini, kepala pemerintah dijabat oleh seorang perdana menteri. Perdana menteri RIS saat itu adalah Moh. Hatta.
Konstitusi yang berlaku setelah UUD RIS adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dimaksudkan sebagai pengganti dari UUD RIS 1949 setelah Indonesia kembali ke bentuk Negara kesatuan. Perubahan UUDS RIS menjadi UUDS 1950 dituangkan dalam Undang-Undang Federal No. 7 Tahun 1950 tentang perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
UUDS 1950 terdiri atas:
a.              Mukadimah yang terdiri dari 4 alinea.
b.             Batang tubuh yang terdiri atas 6 bab dan 146 pasal.
Isi pokok yang diatur dalam UUDS 1950 antara lain:
a.              Bentuk Negara Kesatuan dan bentuk pemerintahan republik;
b.             Sistem pemerintahan adalah parlementer menurut UUDS 1950;
c.              Adanya badan Konstituante yang akan menyusun undang-undang dasar tetap sebagai pengganti dari UUDS 1950.
UUDS 1950 berlaku dari tanggal 17 agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Dalam sejarahnya lembaga Konstituante yang diberi tugas menyusun undang-undang dasar baru pengganti UUDS 1950 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya. Situasi ini kemudian memicu munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada tanggal 5 Juli 1959 presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang isinya sebagai beriku:
1.             Menetapkan pembubaran konstituante;
2.             Menetapkan berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3.             Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, diberlakukan kembali UUD Negara Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 yang selanjutnya dikenal dengan nama UUD 1945. Isi UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden ini dengan demikian tidak berbeda dengan Undang-Undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945.
UUD 1945 berlaku dari tanggal 5 Juli 1959 sampai tahun 1999. UUD 1945 ini berlaku pada dua masa pemerintahan yaitu:
a.              Masa pemerintahan Presiden Soekarno dari tanggal 5 Juli 1959 sampai 1966;
b.             Masa pemerintahan Presiden Soeharto dari tahun 1966 sampai 1998.
Dalam dua masa pemerintahan tersebut UUD 1945 tidak diadakan perubahan. Sesudah berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto, UUD 1945 mengalami perubahan atau amandemen.

2.5.1    Pancasila Pasca Amandemen UUD 1945
Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi mulai dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu:[2]
1.      sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2.      sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.      sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4.      sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5.      sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR[3] dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.[4] Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.[5] Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.[6]
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.[7]
Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh William G. Andrews disebut sebagai Kesepakatan (consensus) pertama. 
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitu­sionalisme. Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.
2.5.2     Pancasila Sebagai Materi Konstitusi
Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa. Pancasila adalah dasar negara. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan Pancasila dalam tata hukum nasional?
Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie)[8]. Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:[9]
1.      Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.      Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.      Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[10]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.[11]
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:[12]
1)          Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)          Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)          Formell gesetz: Undang-Undang.
4)          Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro[13]. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.[14]
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid[15]. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.[16]
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.[17]
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.[18]
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamen­talnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[19]
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.[20] Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama[21].
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau me-rupakan bagian dari konstitusi? 
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[22]
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.[23] Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan  Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu; (1) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; (2) bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya; (3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.[24]
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.[25]
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamen­talnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat[26]. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.[27]
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.
Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms, lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.

BAB III
PENUTUP
1.1    KESIMPULAN
Melihat dengan adanya pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Maka penyusun dapat memberikan kesimpulan bahwa
Kata negara dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa sanksekerta nagan atau negara, yang berarti wilayah, kota, atau penguasa.
Bela negara secara umum diartikan sebagai sikap dan tingkah laku seluruh warga negara tiang dilandasi oleh kecintaan terhadap bangsa dan negara dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan suatu pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri  yang bertolak dari nilai-nilai agama, sosio, kultural, bahasa, dan adat istiadat untuk menjadi warga negara indonesia yang cerdas, terampi, dan berkualitas seperti diamanatkan oleh Pancsila dan UUD 1945.
Pengabdian warga negara adalah perbuatan baik berupa karya maupun jasa yang disumbangkan dalam  lingkup keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.
a.              Wujud perlawanan rakyat semesta dilakukan melalui:
Mempersenjatai rakyat baik secara fisik maupun nonfisik.secara fisik antara lain dengan memberikan keterampilan bela negara yang diselenggarakan pemerintah, secara nonfisik atau psikis antara lain melalui penanaman ideologi pancasila.
b.              Mengembangkan kemanunggalan TNI dengan seluruh rakyat indonesia sebagai sumber kekuatan .
Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, dapat diselanggarakan melalui:

1.             Pendidikan kewarganegaraan.
2.             latihan dasar kemiliteran secara wajib.
3.             Pengabdian sebagai prajurit tentara nasional indonesia secara suka rela atau secara wajib
4.             Pengabdian sesuai profesi kita masing-masing.
Sebagai pelajar,wujud partisipasi kita dalam usaha bela negara dapat kita laksanakan di berbagai lingkungan seperti:
1.             Dalam lingkungan keluarga,
2.             Dalam lingkungan sekolah
3.             Dalam lingkungan masyarakat
4.             Dalam lingkungan  bangsa dan negara.
Konstitsi berasal dari istilah bahasa prancis “constituer” yang artinya membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan untuk pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negra. Konstitusi ini bisa diartikan pula sebagai peraturan dasar mengenai pembentukan negara.
1.             Konstitusi dalam pengertian luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar.
2.              Konstitusi dalam pengertian sempit berarti piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara.
3.             ECWade
Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut.
4.             HermanHeller
menamakan undang-undang dasar sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan.
5.             Lasalle
pengertian konstitusi adalah Kekuasaan antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat (faktor kekuatan riil : presiden, TNI, Partai; buruh, tani dsb)
Istilah konstitusi bisa dipersamakan dengan hukum dasar atau undang-undang dasar. Kata konstitusi dalam kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai:
a.              Segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan;
b.             Undang-undang dasr suatu negara.












1.2         DAFTAR PUSTAKA
Tim ICCE UIN JAKARTA. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat Madani. ICCE UIN JAKARTA, Jakarta.
Adnan Buyung Nasution. 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Jakarta: Grafitti.
Jimly Asshidiqie. 2002. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, UI.
               . 2004. Forma Kelembagaan Negara dan pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945.  Jakarta: Fakutas Hukum UII Press.
               . 2005. Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Ahmad, Zainal Abidin, Piagam Nabi Muhammad saw: Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia,Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Attamimi, A. Hamid S. 1990. Peranan Keputusan Presiden Rpublik Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertai. Jakarta: Universitas Indonesia.
Simongkir, J.C.T. 1984. Penetapan UUD dilihat dari segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.















[1] Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative law, edisi ke-3, blackstone Press Itd., London, 1997 hal.3
[2] Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[3] Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
[4] Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.
[5] Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
[6] Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.
[7] Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini  meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.
[8] Teori Hans Kelsen ini dapat dipelajari dalam tiga bukunya yaitu Pure Theory of Law:  Introduction to the Problematic of Legal Science; Pure Theory of Law; dan General Theory of Law and State.
[9] Ibid., hal. 37. A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal. 359.
[12] Ibid. Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[13] Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun).
[14] Attamimi, Op Cit., hal. 309.
[15] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 115.
[16] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Translation from the Second (Revised and Enlarged) German Edition, Translated by: Max Knight, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1967), hal. 201 – 205.
[17] Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 115
[18] Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 116. Kelsen, Pure Theory of Law, Op Cit., hal. 195.
[19] Attamimi, Op Cit., hal. 359. Nawiasky, Op Cit., hal. 31 – 37.
[20] Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 124 – 125. Kelsen, Pure Theory, Op Cit., hal. 221 – 224.
[21] Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 117.
[22] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 – 129.
[23] Kusuma, Op Cit., hal. 130, catatan kaki no. 229.
[24] Pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 ini dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan UUD 1945 yang menghilangkan penjelasan ini. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 51.
[25] Ibid., hal. 51 – 52.
[26] Kusuma, Op Cit., hal. 132 – 137.                                                                                     
[27] Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.